A. Sekilas Biografi Hamka
Nama
lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (L.16 Februarui 1908 –
W.24 Juli 1981 M). Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat. Rumahnya terletak di Kampung Tanah Sirah, Sungai Batang, sebuah bangunan
bercorak rumah adat Minang Kabau dengan posisi berdiri di pinggir jalan
menghadap ke arah Danau Maninjau. Dalam sejarah nasional, daerah Maninjau
merupakan tempat di mana dilahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, pendidikan dan
pergerakan Islam seperti Mohammad Natsir, A.R Sutan Mansyur, Rasuna Said, dan
lain-lain.
Dilihat
dari nasab keturunannya, Hamka adalah keturunan tokoh-tokoh ulama di
Minangkabau yang tidak semuanya memiliki faham keislaman yang sama, baik itu
dalam masalah furû’ maupun ushûl. Kakek Hamka sendiri Syaikh Muhammad Amrullah
adalah penganut tarekat mu’tabarah Naqsabandiyah yang sangat disegani dan
dihormati bahkan dipercaya memiliki kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali.
Dapat difahami bahwa peran dan aktifitas Hamka
telah ia lakukan baik melalui perannya di dalam tubuh organisasi khususnya
Muhammadiyah, sebagai ketua atau pengurus dalam menjalankan beberapa Majalah
Islam, sebagai delegasi antar negara dan lain sebagainya. Hamka sendiri melihat
bahwa gerak da’wah mestilah mencakup kepada berbagai bidang. Oleh sebab itulah,
dimanapun seseorang berkiprah disanalah ia mesti melakukan amal da’wah secara
terorganisir.
Aktivitas
Hamka dalam da’wah lebih terlihat setelah kepulangannya dari Makkah tahun 1927
di mana ia langsung menuju kampung halaman dan menjadi guru di sana sekaligus
menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan pada usia ke 21. Secara umum, kita
dapat melihat peran dan aktivitas Hamka kepada umat sebagai berikut; Menjadi
guru agama di perkebunan Tebing Tinggi, Medan (1927), menjadi guru agama di
Padang Panjang (1929), dilantik sebagai pensyarah di Universitas Islam Jakarta
dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang (1957-1958), dilantik sebagai
Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo Jakarta
dan kemudian dari tahun 1951-1960 dilantik sebagai pegawai tinggi Agama oleh
Menteri Agama Indonesia, perannya di Muammadiyah dimulai sejak tahun 1925
dengan menda’wahkan pentingnya kembali kepada prinsip al Qur’an dan as Sunnah.
Tepatnya di Padang Panjang, Hamka menjadi peserta pertama mukhtamar
Muhammadiyah dari tahun 1928 hingga akhir hayatnya, memangku beberapa jabatan
mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian ketua Tabligh Muhammadiyah,
sampai menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang
B.
Pendapat
Hamka tentang Arti Tasawuf
Di dalam literatur Hamka, ia tidak menggunakan istilah Tazkiyatun Nafs
sebagaimana yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk kepada model
penyucian jiwa di dalam Islam. Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi
yang disebutkan Hamka melalui istilah tasawuf , maka kita akan menemukan
kesamaan maksud. Dalam mendefinisikan istilah tasawuf, Hamka menyebutnya
sebagai “ilmu”, artinya Hamka menilai bahwa tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu
yang telah mapan di dalam kajian Islam. Ungkapan ini senada dengan apa yang di
jelaskan oleh P.A Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya “Apa Artinya Islam?”
menerangkan bahwa Islam terdiri atas tiga bagian penting yaitu; aqîdah,
syarî’ah dan tasawuf.
Dalam bukunya “Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam”, Hamka menjelaskan
bahwa tasawuf adalah: “Shifâ’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan
budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan
perangai yang terpuji.” Dalam bukunya yang lain seperti Tasauf Modern, Hamka
menjelaskan pula bahwa, “Kita tegakkan maksud semula dari tasauf yaitu
membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala
kelobaan dan kerakusan, memerangi sahwat yang terlebih dari keperluan untuk
keperluan diri”. Terdapat juga dalam buku “Tasawuf dari Abad ke Abad”, di mana
Hamka menjelaskan definisi tasawuf sebagai, “Orang yang membersihkan jiwa dari
pengaruh benda dan alam, supaya dia mudah menuju Tuhan.”
Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas, dapatlah kita melihat
kesamaan misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf di mana keduanya menginginkan
sebuah upaya yang satu yaitu; pembersihan diri atau jiwa seseorang dari
perangai buruk dan dosa yang di anggap buruk oleh syari’at Islam. Oleh sebab
itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka ketika
menasfyirkan ayat berikut ini:
قَدْاَفْلَحَ مَنْ
زَكَّاهَا. وَقَدْخَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh
beruntung orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”.
(QS. Asy Syams: 9-10)
Hamka menjelaskan dalam bukunya “Tafsir Al Azhar” bahwa penyakit yang
paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya.
Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau memiliki sifat
hasud, dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan
lain-lain. Maka seseorang yang beriman hendaknya ia mengusahakan pembersihan
jiwa dari luar dan dalam, dan janganlah mengotorinya. Sebab menurut Hamka,
kekotoran itulah yang justeru akan membuka segala pintu kepada berbagai
kejahatan besar.
Menggunakan istilah tasawuf memang menjadi perdebatan dikalangan para
ulama dan ahli ilmu. Mereka terbagi menjadi golongan yang menolak sepenuhnya
dikarenakan anggapan mereka yaitu dapat mengotori kemurnian Islam. Golongan
yang menerimanya beranggapan bahwa ia adalah ilmu yang bersumber dari Islam itu
sendiri. Meskipun Hamka menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi tasawuf yang
dikemukakan Hamka bukanlah tasawuf sebagaimana yang difahami kebanyakan orang.
Tasawuf yang dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor
syari’at agama (Tasawwûf Masyrû’). Oleh sebab itulah, di dalam penilaian Hamka,
tasawuf tidaklah memiliki sumber lain melainkan bersumberkan murni dari Islam.
Dirinya sangat menekankan keharusan setiap individu untuk melakukan pelaksanaan
tasawuf agar tercapai budi pekerti yang baik sebagaimana kesepakatan Hamka atas
definisi tasawuf yang di uraikan oleh al Junaid yaitu; “Keluar dari budi
pekerti yang tercela, dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji.”
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya ini pada kerangka agama dibawah
pondasi aqîdah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan
lain yang bertenangan dengan syari’at. Sebab bagaimanapun juga Hamka benar-benar
menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi ilmu tersendiri ini, pada
perjalanannya mendapatkan pencemaran dari pandangan hidup lain, dan tak jarang
bagi para pelakunya terjerumus pada praktek-praktek yang tidak di syari’atkan
oleh Islam. Hamka mengatakan, “Karena kita tidak dapat memungkiri bahwa ajaran
asli itu (tasawuf) di zaman akhir sudah banyak dicampuri, kalau tidak boleh
dikatakan dikotori oleh pengaruh yang lain itu.” Dalam bukunya yang lain
semisal “Dari Perbendaharaan Lama”, Hamka juga menyebutkan keadaan ilmu tasawuf
yang diterima oleh sebagian besar muslim di negeri ini telah mendapat
percampuran dengan hikayat, dongeng-dongeng, serta pemahaman dan
keyakinan-keyakinan lain terutama dari agama nenek moyangnya yaitu Hindu. Faham
Wahabi mencoba untuk memulihkan pemahaman yang terkotori itu dengan munculnya
tokoh-tokoh seperti Haji Miskin Pandai Sikat (Agam), H. Abdurahman Piobang,
Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau dan murid-muridnya Tuanku Nan Renceh Kamang,
Tuanku Samik Ampat Angkat, Tuanku Imam Bonjol, Kiyai Haji Ahmad Dahlan, juga
Syaikh Ahmad Sorkati dan lain-lain.
Dalam proses menuju makrifat sebagai puncak kebahagiaan para pelaku
tasawuf (kedekatan yang intens kepada Allah), di mana tasawuf menjembatani hal
itu, maka Hamka menjelaskan bahwa secara umum ilmu tasawuf menawarkan trilogi
konsep sebagai pencapaian kearah itu di antaranya; takhalli, tahalli, dan
tajalli. Takhalli, yaitu sebuah usaha pembebasan diri dari sifat-sifat tercela,
sementara tahalli, ia sebagai usaha untuk mengisi dan berhias diri dengan
sikap-sikap terpuji dan tajalli merupakan penghayatan rasa ketuhanan atau dalam
istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati. Bukan di mata, tapi terasa di
hati, bahwa Dia ada.”
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda dikalangan khalayak ramai tentang
tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Penggunaan istilah
tasawuf yang diimbuhi dengan kata “modern”, sebenarnya merupakan suatu
terobosan yang rentan kritik. Hal itu mengingat ketokohan Hamka yang lahir dari
pergerakan kaum moderenis yang berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah, dimana
dalam faham keagamaannya organisasi ini menentang praktek-praktek tasawuf pada
umumnya. Oleh karenanya, Muhammad Dammimi dalam bukunya “Tasawuf Positif”
mencoba mendudukan kepentingan Hamka dalam mengetengahkan konsep tasawuf
modernnya bahwa, istilah “tasawuf modern” merupakan lawan terhadap istilah
“tasawuf tradisional.” Di mana tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada
prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun
lewat sikap zuhûd yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan
tasawufnya berupa pengamalan taqwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu
dengan Tuhan (unitive state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin
tingginya semangat dan nilai kepekaan social-religius (sosial keagamaan), bukan
karena ingin mendapatkan karâmah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis
dan yang sebangsanya.
Keberadaan tasawauf yang fahami oleh Hamka adalah semata-mata hendak
menegakkan prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang
seimbang atau menurut bahasa Hamka; “i’tidal”. Untuk itulah, manusia dalam
prosesnya mesti mengusahakan benar-benar kearah terbentuknya budi pekerti yang
baik, terhindar dari kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Hamka
menegaskan:
“Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati.
Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit
jiwa akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih
berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani menurut
syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab
itu hendaklah dia utamakan menjaga penyakit yang hendak menimpa jiwa, penyakit
yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu.”
Hamka menulis, ”Adapun jalan tasawuf ialah merenung ke dalam diri
sendiri. Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan
(riadhatun nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri dan
timbullah cahaya yang gemilang.” Di dalam buku ini Hamka juga menekankan bahwa
kehidupan bertasawuf tidaklah seperti yang digambarkan oleh para sufi pada
umumnya, hingga melemahan gerak manusia. Hamka kemudian menjelaskan:
”Kehidupan rohani dapat dipegang oleh seseorang walaupun tidak masuk Biara kalau dia Nasrani, atau tidak masuk suluk kalau dia muslim. Kehidupan rohani adalah keinsafan, bahwa alam ini bukanlah semata-mata terdiri dari benda. Pendirian kerohanian ini bukanlah mengakibatkan lemah perjuangan hidup. Atau menyelisih dari jalan masyarakat, lalu melarikan diri ketempat sunyi dan gunung, atau putus asa dan benci kepada kehidupan. Tetapi pendirian kerhohanian, dan pengakuan tulus tentang kuasa Ilahi adalah menimbulkan kesungguh-sungguhan dalam segala pekerjaan yang di hadapi. Menimbulkan semangat yang dinamis dan berapi-api. Menyebabkan timbunya ikhlas dan jujur.”
”Kehidupan rohani dapat dipegang oleh seseorang walaupun tidak masuk Biara kalau dia Nasrani, atau tidak masuk suluk kalau dia muslim. Kehidupan rohani adalah keinsafan, bahwa alam ini bukanlah semata-mata terdiri dari benda. Pendirian kerohanian ini bukanlah mengakibatkan lemah perjuangan hidup. Atau menyelisih dari jalan masyarakat, lalu melarikan diri ketempat sunyi dan gunung, atau putus asa dan benci kepada kehidupan. Tetapi pendirian kerhohanian, dan pengakuan tulus tentang kuasa Ilahi adalah menimbulkan kesungguh-sungguhan dalam segala pekerjaan yang di hadapi. Menimbulkan semangat yang dinamis dan berapi-api. Menyebabkan timbunya ikhlas dan jujur.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar